Skip to main content

PENGARUH IKLIM TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA DI INDONESIA



<data: post.body/>
Sebagian besar wilayah Indonesia termasuk daerah dengan tipe hujan monsun (Ramage, 1971; Webster, 1987) danmerupakan daerah konvektif paling aktif di dunia (Tjasyono, 2006), hal ini dapat dilihat dari tingginya aktifitas awan konvektif di daerah tersebut dan pola hujan rata-ratanya yang mengikuti siklus aktifitas monsun, terutama monsun Asia dan Australia. Sistem monsun Asia-Australia merupakan salah satu sistem monsun utama dunia (Li & Zeng, 2002).
Namun demikian, jumlah curah hujan antara satu daerah dengan daerah lainnya yang ditunjukkan dengan durasi dan intensitasnya tidak sama di semua daerah, dengan kata lain hal ini memperlihatkan adanya respon yang berbeda di masing-masing daerah terhadap faktor cuaca global tersebut, sehingga menjadi sulit untuk diprediksi (Haylock & McBridge, 2001). Banyak faktor yang menyebabkan cuaca atau iklim suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, antara lain elevasi, jarak dari perairan (sungai, danau dan laut), topografi, lintang, vegetasi, arus laut dan pola angin dominan, atau dikenal dengan faktor-faktor iklim(McGregor, 2007)Pada waktu musim angin barat (angin bertiup dari barat) dari bulan Oktober sampai Maret, cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia, angin bertiup dari timur laut dan berbelok menjadi angin barat laut setelah melewati khatulistiwa. Sebaliknya pada musim angin timuran, angin bertiup dari tenggara dan berbelok menuju ke timur laut setelah melalui katulistiwa, dari bulan Mei sampai September. Pengaruh Samudera Pasifik menjadi dominan pada periode angin baratan kecuali sebagian Besar Sumatera, yang dipengaruhi oleh karakteristik Samudera Hindia sebelah barat. Sebaliknya pada musim angin timuran, pengaruh Samudera Hindia menjadi dominan dengan ditandai oleh berkurangnya curah hujan di Pulau Jawa, dan kepulauan Nusa Tenggara, sementara di sebagian besar Sumatera, dan Kalimantan masih berpeluang terjadinya curah hujan dengan intensitas sedang.
Selanjutnya, propagasi angin dari utara dari bulan Oktober sampai Maret mendorong air laut hangat dari Samudera Pasifik bergerak ke Samudera Hindia, yang menyebabkan terjadinya curah hujan yang tinggi di hampir seluruh wilayah Indonesia.Sebaliknya pada musim angin timuran dari bulan Mei sampai September, angin timuran menekan balik air laut dengan suhu rendah dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik melalui Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, yang ditandai dengan menurunnya curah hujan di Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera bagian selatan, meskipun masih terlihat curah hujan dengan intensitas tinggi di Pulau Papua, Kalimantan dan sebagian Sulawesi.

gamabr1.JPG










Gambar 1.
Pola angin dan suhu permukaan laut (SPL) pada bulan Januari dan Agustus




gamabr2.JPG








Gambar 2.
Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia bulan Januari dan Agustus

Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan fenomena global, dimana dampaknya akan dirasakansecara global oleh seluruh umat manusia di seluruh belahan bumi. Terlepas dari apakah daerah tersebut berkontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim atau tidak.
Indonesia pun tak luput dari dampak perubahan iklim. Kondisi sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis membuat Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Naiknya muka air laut sebagai salah satu dampak perubahan iklim yang menyebabkan terancamnya jutaan penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai. Selain itu para petani dan nelayan yang mata pencahariannya sangat bergantung pada cuaca dan musim juga rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Posisi Geografis Indonesia
peta indonesia.JPG

Indonesia terbentang dari 6 derajat Lintang Utara (LU) sampai 11 derajat Lintang Selatan (LS) dan 9 sampai 141derajat Bujur Timur (BT), dengan jumlah total pulau terbesar di dunia, yaitu 17.500 pulau. Dari jumlah tersebut, sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni. Sisanya pulau kosong yang menjadi habitat satwa liar
Dengan banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia,tak heran jika Indonesia memiliki garis pantai nomer 2 terpanjang di dunia, yaitu 81.000 km(sekitar 14% dari garis pantai dunia). Sementara 2luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km , mendekati 70% luas keseluruhan wilayah Indonesia.Dengan posisi geografis seperti ini, Indonesia sangat rentan terhadap perubahaniklim yang terjadi dengan cepat. Pola curah hujan akan berubah dan musim kering akan bertambah panjang. Banyak pulau yang terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dan masih banyak lagi dampak lain yang akan timbul
Berbagai kerugian yang telah dan akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagaiakibat dampak perubahan iklim adalah sebagai berikut:
1. Kenaikan Temperatur dan Berubahnya Musim
Pemanasan global diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi rata-rata sebesar 1°C pada tahun 2025 dibanding suhu saat ini, atau 2°C lebih tinggi dari jaman pra industri, tahun 1750-1800 (IPCC, 2001).
Pada jaman pra industri (sebelum tahun 1850), konsentrasi CO2 tercatat sekitar 290 ppm. Namun pada tahun 1990, konsentrasi CO2 telah meningkat hingga 353 ppm. Dengan pola konsumsi energi seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 akan meningkat hingga dua kali lipat dibanding jaman pra industri, yaitu sebesar 580 ppm.
Menurut IPCC (2001), dengan meningkatnya konsentrasi CO2 sebanyak dua kali lipat, maka diperkirakan peningkatan suhu bumi yang akan terjadi adalah sebesar 1,4-5,8°C.Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3°C sejak tahun 1990. Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1°C di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990 (M. Hulme, 1999).
2. Naiknya Permukaan Air Laut
Berbagai studi IPCC memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir. Menurut IPCC, pada tahun 2030, permukaan air laut akan bertambah antara 8-29 cm dari permukaan air laut saat ini.
Sebagai dampak naiknya permukaan air laut, maka banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan hilang. Apabila 'skenario' IPCC terjadi, diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Hal ini tentunya akan menyebabkan mundurnya garis pantai di sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik garis batas 12 mil laut dari garis pantai, maka sudah tentu luas wilayah Indonesia akan berkurang.
Menurut studi ALGAS (1997), jika Indonesia - dan juga negara lainnya - tidak melakukan upaya apapun untuk mengurangi emisi GRK, maka diperkirakan pada tahun 2070 akan terjadi kenaikan permukaan laut setinggi 60 cm. Jika permukaan pantai landai, maka garis pantai akan mundur lebih dari 60 cm ke arah darat. Hal ini diperkirakan akan mengancam tempat tinggal ribuan bahkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Tahun 2070 diperkirakan sebanyak 800 ribu rumah di tepi pantai harus dipindahkan atau diperbaiki. Untuk itu dana yang dibutuhkan sekitar 30 milyar rupiah. Masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak. Mereka bahkan kehilangan tempat tinggal serta infrastruktur pendukung yang telah terbangun. Nelayan juga akan kehilangan mata pencahariannya akibat berkurangnya jumlah tangkapan ikan. Hal ini disebabkan karena tak menentunya iklim sehingga menyulitkan mereka untuk melaut.Naiknya muka air laut tak hanya mengancam kehidupanpenduduk pantai, tetapi juga penduduk perkotaan.Mengapa? Kenaikan air laut akan memperburuk kualitas air tanah di perkotaan, karena intrusi atau perembesan air laut yang kian meluas. Jika kita tak bertindak, maka tahun 2070, 50% dari 2,3
juta penduduk Jakarta Utara, sebagai contoh, tidak lagi memiliki sumber air minum. Tak hanya itu, banyak infrastruktur kota akan rusak karena "termakan" oleh salinitas air laut.

Adapun daerah-daerah pesisir yang termasuk rawan akan dampak kenaikan muka air laut antara lain sebagai berikut:

a. Pantai utara Jawa, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Antara tahun 1925 -1989, kenaikan permukaan air laut telah terjadi di Jakarta (4,38 mm/tahun), Semarang (9,27 mm/tahun) dan Surabaya (5,47 mm/Tahun).
b. Pantai timur Sumatera.
c. Pantai selatan, timur dan barat Kalimantan.
d. Pantai barat Sulawesi.
e. Daerah rawa di Irian Jaya yang terletak di pantai barat dan selatan.
Di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang makin tajam. Akibatnya, kerapan terjadinya banjir atau kekeringan akan semakin terasa. Hal ini akan semakin parah apabila daya tampung sungai dan waduk tidak terpelihara akibat erosi dan sedimentasi.
3. Dampaknya pada Sektor Perikanan
Pemanasan global menyebabkan memanasnya air laut, sebesar 2-3°C. Akibatnya, alga yang merupakan sumber makanan terumbu karang akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan suhu air laut. Hal ini berdampak pada menipisnya ketersediaan makanan terumbu karang. Akhirnya, terumbu karang pun akan berubah warna menjadi putih dan mati (coral bleaching). Memanasnya air laut mengakibatkan menurunnya jumlah terumbu karang di Indonesia. Padahal kepulauan Indonesia saat ini memiliki 14.000 unit terumbu karang dengan luasan total sekitar 85.700 km2 atau sekitar 14% dari terumbu karang dunia (WRI, 2002).
Peristiwa El Nino, biasa juga disebut ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang terjadi setiap 2-13 tahun sekali (lihat boks 1.5), pada tahun 1997-1998 menyebabkan naiknya suhu air laut sehingga memicu peristiwa pemutihan karang terluas, terutama di wilayah barat Indonesia. Pemutihan karang terjadi di bagian timur Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Menurut Wilkinson di Indonesia sudah terjadi pemutihan karang sebesar 30% (Murdiyarso, 2003). Di Kepulauan Seribu, sekitar 90-95% terumbu karang hingga kedalaman 25 m mengalami kematian. Setelah El Nino berlalu, terumbu karang yang rusak punya kesempatan untuk tumbuh
kembali. Seperti halnya yang terjadi pada terumbu karang di Kepulauan Seribu yang membaik sekitar 20-30% dalam waktu 2 tahun. Namun bayangkan jika terjadi perubahan iklim, pemutihan karang akan terjadi secara terus menerus, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi terumbu karang untuk tumbuh dan memperbaiki diri kembali. Pemutihan karang menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya, ikan kerapu macan, kerapu sunu, napoleon dan lain- lain) karena tak ada lagi terumbu karang yang layak untuk dihuni dan berfungsi sebagai sumber makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih dari 1.650 jenis ikan karang, itupun hanya yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung yang beradawilayah lainnya.
Akibat lebih jauh adalah terjadinya perubahan komposisi ikan di laut Indonesia. Ikan yang tak tergantung pada terumbu karang akan tumbuh dengan suburnya. Contohnya, ikan belanak, bandeng, tenggiri dan teri, padahal ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yg lebih rendah daripada jenis ikan karang. Tak hanya itu, memanasnya air laut akan mengganggu kehidupan jenis ikan tertentu yang sensitif terhadap naiknya suhu. Ini mengakibatkan terjadinya migrasi ikan ke daerah yang lebih dingin. Akhirnya, Indo nesia akan kehilangan beberapa jenis ikan. Akibatnya, nelayan lokal akan makin terpuruk karena menurunnya hasil tangkapan ikan.
4. Dampaknya pada Sektor Kehutanan
Diperkirakan akan terjadi pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan sebagai akibat perubahan iklim. Beberapa spesies akan terancam punah karena tak mampu beradaptasi. Sebaliknya spesies yang mampu bertahan akan berkembang tak terkendali (KLH, 1998). Kebakaran hutan bersum- ber pada tiga hal, yaitu kesengajaan manusia, kelalaian manusia dan karena faktor alam.
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor alam, umumnya disebabkan oleh terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan. Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti musim kemarau panjang, mengakibatkan mudah terbakarnya ranting-ranting atau daun-daun akibat gesekan yang ditimbulkan. Hal ini menyebabkan kebakaran hutan dapat terjadi dalam waktu singkat dimana api melahap sekian hektar luasan hutan dan berbagai macam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Singkat kata, peningkatan suhu meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan. Oleh karena itu perubahan iklim yang berdampak pada meningkatnya suhu, dipastikan akan meningkatkan potensi kebakaran hutan. Musim kemarau pada tahun 1994, telah menyebabkan hutan Indonesia seluas 5 juta ha habis terbakar (Bapenas, 1999). Sementara pada peristiwa El-Nino tahun 1997-1998, kawasan yang rusak akibat kebakaran hutan hampir seluas 10 juta ha, termasuk di dalamnya pertanian dan padang rumput (FWI/GFW, 2001). Selain hilangnya sejumlah kawasan hutan, kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya berbagai keanekaragaman hayati, terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Belum lagi dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkanbagi masyarakat setempat.
5. Dampaknya pada Sektor Pertanian
Dampak paling merugikan akan melanda sektor pertanian di Indonesia akibat pergeseran musim dan perubahan pola hujan. Pada umumnya semua bentuk sistem pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim. Terjadinya keterlambatan musim tanam atau panen akan memberikan dampak yang besar baik secara langsung maupun tak langsung, seperti ketahanan pangan, industri pupuk, transportasi dan lain-lain. Tak menentunya iklim berdampak pada turunnya produksi pangan di Indonesia, akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Pada tahun 1991, Indonesia mengimpor sebesar 600 ribu ton beras dan tahun 1994 jumlah beras yang diimpor lebih dari satu juta ton (KLH, 1998). Sementara menurut Badan Pusat Statistik, produksi padi tahun 2001 menurunsebesar 3,5 persen atau 2,9 juta ton dibanding tahun 2000 (Kompas, 19 Oktober 2001).karena erosi tanah, akibatnya kerugian yang diderita oleh sektor pertanian mencapai sebesar US$ 6 milyar pertahun (ADB, 1994).
Dalam data Dinas Pertanian Cirebon tercatat sekitar 143 ribu hektar lahan mengalami terlambat tanam pada bulan Desember dan Januari (KLH, 1998). Akibatnya dana simpanan milik petani seharusnya untuk modal tanam digunakan untuk biaya hidup. Sehingga pada saat musim tanam tiba, petani sudah tidak lagi memiliki modal. Akibatnya petani akan mengalami penurunan pendapatan bahkan terjerat hutang. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah longsor, akibatnya hasil dari tanaman dataran tinggi akan menurun. Produksi kacang kedelai misalnya, akan turun sebanyak 20%, sementara jagung sebanyak 40%, danpadi 2,5% (ADB, 1994).
Perubahan iklim tak hanya menyebabkan banjir tetapi juga kekeringan. Sebagaimana halnya banjir, kekeringan membawa kerugian yang serupa pada sektor pertanian. Dari Wonogiri, Jawa Tengah (2003), dikabarkan bahwa sawah yang mengalami kekeringan pada musim kemarau seluas 21.705 hektar hingga petani mengalami kerugian sebesar Rp 15 milyar lebih Sementara tanaman lain yang mengalami kekeringan adalah kacang tanah, yaitu seluas 11.755 hektar, dimana 2.164 hektar diantaranya puso (Kompas, 4 Juli 2003). Ditambah dengan peristiwa El Nino dan La Nina kondisi ketersediaan pangan di Indonesia akan semakin buruk.
6. Dampaknya pada Sektor Kesehatan
Dampak lain dari perubahan iklim di Indonesia adalah meningkatnya frekuensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah. Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya, nyamuk malaria dan demam berdarah akan berkembangbiak lebih cepat. Balita, anak-anak dan usia lanjut sangat rentan terhadap perubahan iklim. Terbukti tingginya angka kematian yang disebabkan oleh malaria sebesar 1-3 juta pertahun, dimana 80% nya adalah balita dan anak-anak (WHO, 1997). Untuk kasus malaria, di Jawa dan Bali terjadi kenaikan penyakit malaria, dari 18 kasus per 100 ribu pada tahun 1998, menjadi 48 kasus per 100 ribu penduduk di tahun 2000, atau naik hampir 3 kali lipat (Kompas, 18 Januari 2002). Sementara di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan kasus sebesar 60% dari tahun 1998-2000. Kasus terbanyak ada di NTT yaitu 16.290 kasus per 100 ribu penduduk (Kompas, 18 Januari 2002). Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, diperkirakan 15 juta penduduk Indonesia menderita malaria dan 30 ribu diantaranya meninggalnya dunia (WHO, 1996). Jika kita tak berupaya menghambat terjadinya perubahan iklim, maka kasus malaria di Indonesia akan naik dari 2.705 kasus, pada tahun 1989, menjadi 3.246 kasus pada tahun 2070 Sedangkan kasus demam berdarah naik 4 kali lipat, dari 6 kasus menjadi 26 kasus per-10.000 penduduk, pada periode waktu yang sama (ALGAS, 1997).
7. Dampak Sosial dan Ekonomi
Tahun 2000, Indonesia tela hmengalami 33 kejadian banjir, kebakaran hutan, kemarau, dan 6 bencana angin topan. Itu semua telah membawa kerugian sebesar $150 milyar dan 690 nyawa hilang (Kompas, 7 Maret 2001). Sementara dunia sendiri mengalami kerugian sebesar $300 milyar tiap tahunnya akibat dampak perubahan iklim (UNEP, 2001). Kerugian yang akan dialami Indonesia jika terjadi kenaikan muka air laut setinggi 60 cm adalah sebesar $11.307 juta pertahunnya. Kerugian itu terdiri dari menyusutnya lahan persawahan, sawah pasang surut dan perkebunan, tambak ikan, bangunan dan hutan bakau (Rozari, 1992).
Sementara kerugian Indonesia di sektor pertanian akibat perubahan iklim diperkirakan sebesar 23 milyar rupiah per tahunnya. Sementara sektor pariwisata akan mengalami kerugian sebesar 4 milyar rupiah per tahun (ALGAS, 1997). Berdasarkan sumber yang sama, perbaikan infrastruktur pesisir akan memerlukan dana 42 milyar rupiah setiap tahunnya.
Di sektor kehutanan, Indonesia mengalami kerugian akibat kebakaran hutan sebesar 5,96 trilyun rupiah atau 70% dari Pendapatan Domestik Bruto sektor kehutanan (KLH, 1998). Hal tersebut terdiri atas hilangnya persediaan air, gangguan hidrologi, pengendalian erosi, siklus hara, penguraian limbah, hilangnya penyerapan karbon, hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain. Kebakaran hutan tahun 1997, telah menghabiskan biaya kesehatan lebih dari 1,2 trilyun rupiah termasuk 2,5 juta hari kerja yang hilang (KLH, 1998). Sementara total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997-1998 diperkirakan mencapai US$ 9,3 milyar (Bappenas, 2000).
Selain kerugian secara finansial, kebakaran hutan juga memberikan dampak sosial terhadap masyarakat setempat. Hilangnya mata pencaharian, rasa keamanan dan keharmonisan merupakan derita yang harus ditanggung oleh penduduk setempat (KLH, 1998).



Daftar Pustaka

Meiviana, Armely, dkk.2004.Bumi Makin Panas.Jakarta:Kementrian .         Lingkungan Hidup
Hermawan, Eddy.2010. Pengelompokkan Pola Curah Hujan yang  Terjadi di        Beberapa .       Kawasan P Sumatera Berbasis Hasil Analisis Teknik        Spektral.Jurnal.            Meteorologi dan Geofisika Volume 11 Nomor 2             Tahun 2010 hal : 75 – 84.
Sofian, Ibnu, dkk. Memahami dan Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Pada       Pesisir laut di Indonesia Bagian Timur. Jurnal Meteorologi dan Geofisika       Volume 12 Nomor 1Tahun 2011 hal : 53-64
<data: post.body/>

Comments

Popular posts from this blog

Geography Teacher

Geography Teacher In Practicing Geography Lesson Learning to Foster Love Attitude of the Homeland and Care for the Environment <data: post.body /> a. Growing Love Attitude of the Fatherland Love the homeland can be grown developed in the learning of geography through the role of a teacher that is in the following way: • Teachers can show areas that belong to the country of Indonesia either through maps, globe or satellite imagery so that students will know which areas are included in our country (NKRI) so that if there is a secret seizure of the region eg shifting the country border benchmarks, then we will be able to find out. This shows in addition to the role of geography as a giver of regional knowledge of the country also contribute in maintaining the territorial integrity of the Unitary State of the Republic of Indonesia. • Teachers can show the distribution of natural resources in Indonesia, then the teacher asks the students about how to cultivate the potential ...

Influence Climate change on the environment

<data: post.body />    Climate change is the change of temperature, air pressure, wind, rainfall, and humidity as a result of global warming. Due to the greenhouse gas effect, the greenhouse gases will continue long-wave radiation that is hot, so the surface temperature of the earth will rise and become hotter where the rate of increase of heat is directly proportional to the rate of change of greenhouse gas concentration. with the rate of change in greenhouse gas concentrations.       If there is a rise in global average temperature of 1.5-2.5oC, the possibility of extinction will occur 20-30 species of flora and fauna. The level of ocean acidity will increase with increasing CO2 in the atmosphere. This will have a negative impact on marine organisms such as coral reefs and organisms that depend on coral reefs. Coastal areas will be increasingly vulnerable to coastal erosion and sea level rise will occur. The average flow of river water...

Meaningful Learning Process

<data: post.body /> <script data-ad-client="ca-pub-2283241520599098" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>     Meaningful learning is a learning process whereby new information is linked to the structures of understanding that a person already in the process of learning is having. Learning takes place when students try to connect new phenomena into their knowledge structures. That is, the lesson material must match the student's abilities and must be relevant to the cognitive structure of the student. Therefore, the lesson should be related to the concepts that students already have, so that the new concepts are completely absorbed by it. Thus, students' emotional intellectual factors are involved in learning activities.      Meaningful learning is a fun lesson that will have the advantage of reaping all the information intact so that the final consequence improves the student's ...