<data:
post.body/>
Sebagian besar wilayah Indonesia termasuk daerah
dengan tipe hujan monsun (Ramage, 1971; Webster, 1987) danmerupakan daerah
konvektif paling aktif di dunia (Tjasyono, 2006), hal ini dapat dilihat dari
tingginya aktifitas awan konvektif di daerah tersebut dan pola hujan
rata-ratanya yang mengikuti siklus aktifitas monsun, terutama monsun Asia dan
Australia. Sistem monsun Asia-Australia merupakan salah satu sistem monsun
utama dunia (Li & Zeng, 2002).
Namun demikian, jumlah curah hujan
antara satu daerah dengan daerah lainnya yang ditunjukkan dengan durasi dan
intensitasnya tidak sama di semua daerah, dengan kata lain hal ini
memperlihatkan adanya respon yang berbeda di masing-masing daerah terhadap
faktor cuaca global tersebut, sehingga menjadi sulit untuk diprediksi (Haylock
& McBridge, 2001). Banyak faktor yang menyebabkan cuaca atau iklim suatu
daerah berbeda dengan daerah lainnya, antara lain elevasi, jarak dari perairan
(sungai, danau dan laut), topografi, lintang, vegetasi, arus laut dan pola
angin dominan, atau dikenal dengan faktor-faktor iklim(McGregor, 2007)Pada
waktu musim angin barat (angin bertiup dari barat) dari bulan Oktober sampai
Maret, cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh monsun Asia, angin bertiup dari
timur laut dan berbelok menjadi angin barat laut setelah melewati khatulistiwa.
Sebaliknya pada musim angin timuran, angin bertiup dari tenggara dan berbelok
menuju ke timur laut setelah melalui katulistiwa, dari bulan Mei sampai
September. Pengaruh Samudera Pasifik menjadi dominan pada periode angin baratan
kecuali sebagian Besar Sumatera, yang dipengaruhi oleh karakteristik Samudera
Hindia sebelah barat. Sebaliknya pada musim angin timuran, pengaruh Samudera
Hindia menjadi dominan dengan ditandai oleh berkurangnya curah hujan di Pulau
Jawa, dan kepulauan Nusa Tenggara, sementara di sebagian besar Sumatera, dan
Kalimantan masih berpeluang terjadinya curah hujan dengan intensitas sedang.
Selanjutnya, propagasi angin dari
utara dari bulan Oktober sampai Maret mendorong air laut hangat dari Samudera
Pasifik bergerak ke Samudera Hindia, yang menyebabkan terjadinya curah hujan
yang tinggi di hampir seluruh wilayah Indonesia.Sebaliknya pada musim angin
timuran dari bulan Mei sampai September, angin timuran menekan balik air laut
dengan suhu rendah dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik melalui Laut Jawa,
Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, yang ditandai dengan menurunnya curah
hujan di Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera bagian selatan, meskipun masih
terlihat curah hujan dengan intensitas tinggi di Pulau Papua, Kalimantan dan
sebagian Sulawesi.

Gambar
1.
Pola
angin dan suhu permukaan laut (SPL) pada bulan Januari dan Agustus

Gambar
2.
Siklus
tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia bulan Januari dan Agustus
Dampak Perubahan
Iklim
Perubahan iklim merupakan fenomena
global, dimana dampaknya akan dirasakansecara global oleh seluruh umat manusia
di seluruh belahan bumi. Terlepas dari apakah daerah tersebut berkontribusi
terhadap terjadinya perubahan iklim atau tidak.
Indonesia pun tak luput dari dampak perubahan iklim.
Kondisi sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis membuat Indonesia berada
dalam posisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Naiknya muka air laut
sebagai salah satu dampak perubahan iklim yang menyebabkan terancamnya jutaan
penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai. Selain itu para petani dan
nelayan yang mata pencahariannya sangat bergantung pada cuaca dan musim juga
rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Posisi Geografis
Indonesia

Indonesia terbentang dari 6 derajat
Lintang Utara (LU) sampai 11 derajat Lintang Selatan (LS) dan 9 sampai
141derajat Bujur Timur (BT), dengan jumlah total pulau terbesar di dunia, yaitu
17.500 pulau. Dari jumlah tersebut, sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni.
Sisanya pulau kosong yang menjadi habitat satwa liar
Dengan banyaknya pulau yang
dimiliki Indonesia,tak heran jika Indonesia memiliki garis pantai nomer 2
terpanjang di dunia, yaitu 81.000 km(sekitar 14% dari garis pantai dunia).
Sementara 2luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km , mendekati 70% luas
keseluruhan wilayah Indonesia.Dengan posisi geografis seperti ini, Indonesia
sangat rentan terhadap perubahaniklim yang terjadi dengan cepat. Pola curah
hujan akan berubah dan musim kering akan bertambah panjang. Banyak pulau yang
terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dan masih banyak lagi
dampak lain yang akan timbul
Berbagai kerugian yang telah dan
akan dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagaiakibat dampak perubahan iklim
adalah sebagai berikut:
1. Kenaikan Temperatur dan
Berubahnya Musim
Pemanasan global diperkirakan
menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi rata-rata sebesar 1°C pada tahun 2025
dibanding suhu saat ini, atau 2°C lebih tinggi dari jaman pra industri, tahun
1750-1800 (IPCC, 2001).
Pada jaman pra industri (sebelum
tahun 1850), konsentrasi CO2 tercatat sekitar 290 ppm. Namun pada tahun 1990,
konsentrasi CO2 telah meningkat hingga 353 ppm. Dengan pola konsumsi energi
seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2100 konsentrasi CO2 akan meningkat
hingga dua kali lipat dibanding jaman pra industri, yaitu sebesar 580 ppm.
Menurut IPCC (2001), dengan
meningkatnya konsentrasi CO2 sebanyak dua kali lipat, maka diperkirakan
peningkatan suhu bumi yang akan terjadi adalah sebesar 1,4-5,8°C.Di Indonesia
sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3°C sejak tahun 1990.
Sementara di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1°C
di atas suhu rata-rata tahun 1961-1990 (M. Hulme, 1999).
2. Naiknya Permukaan Air Laut
Berbagai studi IPCC memperlihatkan
bahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1-2 meter dalam 100
tahun terakhir. Menurut IPCC, pada tahun 2030, permukaan air laut akan
bertambah antara 8-29 cm dari permukaan air laut saat ini.
Sebagai dampak naiknya permukaan
air laut, maka banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan
hilang. Apabila 'skenario' IPCC terjadi, diperkirakan Indonesia akan kehilangan
2.000 pulau. Hal ini tentunya akan menyebabkan mundurnya garis pantai di
sebagian besar wilayah Indonesia. Akibatnya, bila ditarik garis batas 12 mil
laut dari garis pantai, maka sudah tentu luas wilayah Indonesia akan berkurang.
Menurut studi ALGAS (1997), jika
Indonesia - dan juga negara lainnya - tidak melakukan upaya apapun untuk
mengurangi emisi GRK, maka diperkirakan pada tahun 2070 akan terjadi kenaikan
permukaan laut setinggi 60 cm. Jika permukaan pantai landai, maka garis pantai
akan mundur lebih dari 60 cm ke arah darat. Hal ini diperkirakan akan mengancam
tempat tinggal ribuan bahkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir pantai.
Tahun 2070 diperkirakan sebanyak 800 ribu rumah di tepi pantai harus
dipindahkan atau diperbaiki. Untuk itu dana yang dibutuhkan sekitar 30 milyar
rupiah. Masyarakat nelayan yang bertempat tinggal di sepanjang pantai akan
semakin terdesak. Mereka bahkan kehilangan tempat tinggal serta infrastruktur
pendukung yang telah terbangun. Nelayan juga akan kehilangan mata
pencahariannya akibat berkurangnya jumlah tangkapan ikan. Hal ini disebabkan
karena tak menentunya iklim sehingga menyulitkan mereka untuk melaut.Naiknya
muka air laut tak hanya mengancam kehidupanpenduduk pantai, tetapi juga
penduduk perkotaan.Mengapa? Kenaikan air laut akan memperburuk kualitas air
tanah di perkotaan, karena intrusi atau perembesan air laut yang kian meluas.
Jika kita tak bertindak, maka tahun 2070, 50% dari 2,3
juta penduduk Jakarta Utara,
sebagai contoh, tidak lagi memiliki sumber air minum. Tak hanya itu, banyak
infrastruktur kota akan rusak karena "termakan" oleh salinitas air
laut.
Adapun daerah-daerah pesisir yang
termasuk rawan akan dampak kenaikan muka air laut antara lain sebagai berikut:
a. Pantai utara Jawa, termasuk
kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Antara tahun 1925
-1989, kenaikan permukaan air laut telah terjadi di Jakarta (4,38 mm/tahun),
Semarang (9,27 mm/tahun) dan Surabaya (5,47 mm/Tahun).
b. Pantai timur Sumatera.
c. Pantai selatan, timur dan barat
Kalimantan.
d. Pantai barat Sulawesi.
e. Daerah rawa di Irian Jaya yang
terletak di pantai barat dan selatan.
Di beberapa Daerah Aliran Sungai
(DAS), akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut yang makin tajam.
Akibatnya, kerapan terjadinya banjir atau kekeringan akan semakin terasa. Hal
ini akan semakin parah apabila daya tampung sungai dan waduk tidak terpelihara
akibat erosi dan sedimentasi.
3. Dampaknya pada Sektor Perikanan
Pemanasan global menyebabkan
memanasnya air laut, sebesar 2-3°C. Akibatnya, alga yang merupakan sumber
makanan terumbu karang akan mati karena tidak mampu beradaptasi dengan
peningkatan suhu air laut. Hal ini berdampak pada menipisnya ketersediaan
makanan terumbu karang. Akhirnya, terumbu karang pun akan berubah warna menjadi
putih dan mati (coral bleaching). Memanasnya air laut mengakibatkan menurunnya
jumlah terumbu karang di Indonesia. Padahal kepulauan Indonesia saat ini
memiliki 14.000 unit terumbu karang dengan luasan total sekitar 85.700 km2 atau
sekitar 14% dari terumbu karang dunia (WRI, 2002).
Peristiwa El Nino, biasa juga
disebut ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang terjadi setiap 2-13 tahun sekali
(lihat boks 1.5), pada tahun 1997-1998 menyebabkan naiknya suhu air laut
sehingga memicu peristiwa pemutihan karang terluas, terutama di wilayah barat
Indonesia. Pemutihan karang terjadi di bagian timur Sumatera, Jawa, Bali dan
Lombok. Menurut Wilkinson di Indonesia sudah terjadi pemutihan karang sebesar
30% (Murdiyarso, 2003). Di Kepulauan Seribu, sekitar 90-95% terumbu karang
hingga kedalaman 25 m mengalami kematian. Setelah El Nino berlalu, terumbu
karang yang rusak punya kesempatan untuk tumbuh
kembali. Seperti halnya yang
terjadi pada terumbu karang di Kepulauan Seribu yang membaik sekitar 20-30%
dalam waktu 2 tahun. Namun bayangkan jika terjadi perubahan iklim, pemutihan
karang akan terjadi secara terus menerus, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi
terumbu karang untuk tumbuh dan memperbaiki diri kembali. Pemutihan karang
menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi
(contohnya, ikan kerapu macan, kerapu sunu, napoleon dan lain- lain) karena tak
ada lagi terumbu karang yang layak untuk dihuni dan berfungsi sebagai sumber
makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih dari 1.650 jenis ikan karang, itupun
hanya yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung yang
beradawilayah lainnya.
Akibat lebih jauh adalah terjadinya
perubahan komposisi ikan di laut Indonesia. Ikan yang tak tergantung pada
terumbu karang akan tumbuh dengan suburnya. Contohnya, ikan belanak, bandeng,
tenggiri dan teri, padahal ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yg lebih
rendah daripada jenis ikan karang. Tak hanya itu, memanasnya air laut akan
mengganggu kehidupan jenis ikan tertentu yang sensitif terhadap naiknya suhu.
Ini mengakibatkan terjadinya migrasi ikan ke daerah yang lebih dingin.
Akhirnya, Indo nesia akan kehilangan beberapa jenis ikan. Akibatnya, nelayan
lokal akan makin terpuruk karena menurunnya hasil tangkapan ikan.
4. Dampaknya pada Sektor Kehutanan
Diperkirakan akan terjadi
pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan
sebagai akibat perubahan iklim. Beberapa spesies akan terancam punah karena tak
mampu beradaptasi. Sebaliknya spesies yang mampu bertahan akan berkembang tak
terkendali (KLH, 1998). Kebakaran hutan bersum- ber pada tiga hal, yaitu
kesengajaan manusia, kelalaian manusia dan karena faktor alam.
Kebakaran hutan yang disebabkan
oleh faktor alam, umumnya disebabkan oleh terjadinya peningkatan suhu udara di
lingkungan sekitar hutan. Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup
lama, seperti musim kemarau panjang, mengakibatkan mudah terbakarnya
ranting-ranting atau daun-daun akibat gesekan yang ditimbulkan. Hal ini
menyebabkan kebakaran hutan dapat terjadi dalam waktu singkat dimana api
melahap sekian hektar luasan hutan dan berbagai macam keanekaragaman hayati
yang berada di dalamnya. Singkat kata, peningkatan suhu meningkatkan peluang
terjadinya kebakaran hutan. Oleh karena itu perubahan iklim yang berdampak pada
meningkatnya suhu, dipastikan akan meningkatkan potensi kebakaran hutan. Musim
kemarau pada tahun 1994, telah menyebabkan hutan Indonesia seluas 5 juta ha
habis terbakar (Bapenas, 1999). Sementara pada peristiwa El-Nino tahun
1997-1998, kawasan yang rusak akibat kebakaran hutan hampir seluas 10 juta ha,
termasuk di dalamnya pertanian dan padang rumput (FWI/GFW, 2001). Selain
hilangnya sejumlah kawasan hutan, kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya
berbagai keanekaragaman hayati, terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Belum lagi dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkanbagi masyarakat
setempat.
5. Dampaknya pada Sektor Pertanian
Dampak paling merugikan akan
melanda sektor pertanian di Indonesia akibat pergeseran musim dan perubahan
pola hujan. Pada umumnya semua bentuk sistem pertanian sangat sensitif terhadap
variasi iklim. Terjadinya keterlambatan musim tanam atau panen akan memberikan
dampak yang besar baik secara langsung maupun tak langsung, seperti ketahanan
pangan, industri pupuk, transportasi dan lain-lain. Tak menentunya iklim
berdampak pada turunnya produksi pangan di Indonesia, akibatnya Indonesia harus
mengimpor beras. Pada tahun 1991, Indonesia mengimpor sebesar 600 ribu ton
beras dan tahun 1994 jumlah beras yang diimpor lebih dari satu juta ton (KLH,
1998). Sementara menurut Badan Pusat Statistik, produksi padi tahun 2001
menurunsebesar 3,5 persen atau 2,9 juta ton dibanding tahun 2000 (Kompas, 19
Oktober 2001).karena erosi tanah, akibatnya kerugian yang diderita oleh sektor
pertanian mencapai sebesar US$ 6 milyar pertahun (ADB, 1994).
Dalam data Dinas Pertanian Cirebon
tercatat sekitar 143 ribu hektar lahan mengalami terlambat tanam pada bulan
Desember dan Januari (KLH, 1998). Akibatnya dana simpanan milik petani
seharusnya untuk modal tanam digunakan untuk biaya hidup. Sehingga pada saat
musim tanam tiba, petani sudah tidak lagi memiliki modal. Akibatnya petani akan
mengalami penurunan pendapatan bahkan terjerat hutang. Curah hujan yang tinggi
akan menyebabkan tanah longsor, akibatnya hasil dari tanaman dataran tinggi
akan menurun. Produksi kacang kedelai misalnya, akan turun sebanyak 20%, sementara
jagung sebanyak 40%, danpadi 2,5% (ADB, 1994).
Perubahan iklim tak hanya
menyebabkan banjir tetapi juga kekeringan. Sebagaimana halnya banjir,
kekeringan membawa kerugian yang serupa pada sektor pertanian. Dari Wonogiri,
Jawa Tengah (2003), dikabarkan bahwa sawah yang mengalami kekeringan pada musim
kemarau seluas 21.705 hektar hingga petani mengalami kerugian sebesar Rp 15
milyar lebih Sementara tanaman lain yang mengalami kekeringan adalah kacang
tanah, yaitu seluas 11.755 hektar, dimana 2.164 hektar diantaranya puso
(Kompas, 4 Juli 2003). Ditambah dengan peristiwa El Nino dan La Nina kondisi
ketersediaan pangan di Indonesia akan semakin buruk.
6. Dampaknya pada Sektor Kesehatan
Dampak lain dari perubahan iklim di
Indonesia adalah meningkatnya frekuensi penyakit tropis, seperti malaria dan
demam berdarah. Hal ini disebabkan oleh naiknya suhu udara yang menyebabkan
masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya, nyamuk malaria dan demam
berdarah akan berkembangbiak lebih cepat. Balita, anak-anak dan usia lanjut
sangat rentan terhadap perubahan iklim. Terbukti tingginya angka kematian yang
disebabkan oleh malaria sebesar 1-3 juta pertahun, dimana 80% nya adalah balita
dan anak-anak (WHO, 1997). Untuk kasus malaria, di Jawa dan Bali terjadi
kenaikan penyakit malaria, dari 18 kasus per 100 ribu pada tahun 1998, menjadi
48 kasus per 100 ribu penduduk di tahun 2000, atau naik hampir 3 kali lipat
(Kompas, 18 Januari 2002). Sementara di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan
kasus sebesar 60% dari tahun 1998-2000. Kasus terbanyak ada di NTT yaitu 16.290
kasus per 100 ribu penduduk (Kompas, 18 Januari 2002). Berdasarkan Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, diperkirakan 15 juta penduduk
Indonesia menderita malaria dan 30 ribu diantaranya meninggalnya dunia (WHO,
1996). Jika kita tak berupaya menghambat terjadinya perubahan iklim, maka kasus
malaria di Indonesia akan naik dari 2.705 kasus, pada tahun 1989, menjadi 3.246
kasus pada tahun 2070 Sedangkan kasus demam berdarah naik 4 kali lipat, dari 6 kasus
menjadi 26 kasus per-10.000 penduduk, pada periode waktu yang sama (ALGAS,
1997).
7. Dampak Sosial dan Ekonomi
Tahun 2000, Indonesia tela
hmengalami 33 kejadian banjir, kebakaran hutan, kemarau, dan 6 bencana angin
topan. Itu semua telah membawa kerugian sebesar $150 milyar dan 690 nyawa
hilang (Kompas, 7 Maret 2001). Sementara dunia sendiri mengalami kerugian
sebesar $300 milyar tiap tahunnya akibat dampak perubahan iklim (UNEP, 2001).
Kerugian yang akan dialami Indonesia jika terjadi kenaikan muka air laut
setinggi 60 cm adalah sebesar $11.307 juta pertahunnya. Kerugian itu terdiri
dari menyusutnya lahan persawahan, sawah pasang surut dan perkebunan, tambak
ikan, bangunan dan hutan bakau (Rozari, 1992).
Sementara kerugian Indonesia di
sektor pertanian akibat perubahan iklim diperkirakan sebesar 23 milyar rupiah
per tahunnya. Sementara sektor pariwisata akan mengalami kerugian sebesar 4
milyar rupiah per tahun (ALGAS, 1997). Berdasarkan sumber yang sama, perbaikan
infrastruktur pesisir akan memerlukan dana 42 milyar rupiah setiap tahunnya.
Di sektor kehutanan, Indonesia
mengalami kerugian akibat kebakaran hutan sebesar 5,96 trilyun rupiah atau 70%
dari Pendapatan Domestik Bruto sektor kehutanan (KLH, 1998). Hal tersebut
terdiri atas hilangnya persediaan air, gangguan hidrologi, pengendalian erosi,
siklus hara, penguraian limbah, hilangnya penyerapan karbon, hilangnya
keanekaragaman hayati dan lain-lain. Kebakaran hutan tahun 1997, telah
menghabiskan biaya kesehatan lebih dari 1,2 trilyun rupiah termasuk 2,5 juta
hari kerja yang hilang (KLH, 1998). Sementara total kerugian ekonomi akibat
kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997-1998 diperkirakan mencapai US$ 9,3
milyar (Bappenas, 2000).
Selain kerugian secara finansial,
kebakaran hutan juga memberikan dampak sosial terhadap masyarakat setempat.
Hilangnya mata pencaharian, rasa keamanan dan keharmonisan merupakan derita
yang harus ditanggung oleh penduduk setempat (KLH, 1998).
Daftar
Pustaka
Meiviana, Armely, dkk.2004.Bumi Makin Panas.Jakarta:Kementrian . Lingkungan Hidup
Hermawan, Eddy.2010. Pengelompokkan Pola Curah Hujan yang
Terjadi di Beberapa . Kawasan P Sumatera Berbasis Hasil
Analisis Teknik Spektral.Jurnal. Meteorologi dan Geofisika Volume 11
Nomor 2 Tahun 2010 hal : 75 –
84.
Sofian, Ibnu, dkk. Memahami dan Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Pada Pesisir laut di Indonesia Bagian Timur.
Jurnal Meteorologi dan Geofisika Volume
12 Nomor 1Tahun 2011 hal : 53-64
<data:
post.body/>
Comments